Rabu, 23 Januari 2013

Kebijakan Bambu dan Usaha Hasil Hutan Non Kayu

Kebijakan Hutan Bambu

Pedoman Pembangunan Model Usaha Bambu

Lampiran V Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, No: SK.50/V-UPR/2004, Tanggal 14 April 2004
Download file: l5_50_04

INBAR dan DEPHUT Kerjasama Pengembangan Bambu

Siaran Pers  Nomor: S.286/II/PIK-1/2007
Sumber: http://www.dephut.go.id/ 14 Juni 2007  

International Network for Bamboo and Rattan (INBAR) dan pemerintah Indonesia yang diwakili Departemen Kehutanan sepakat melakukan kerjasama pengembangan bambu. Kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) tersebut ditandatangani pada hari Rabu, 13 Juni 2007 di Jakarta, merupakan dokumen perjanjian kerjasama antara INBAR dengan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Departemen Kehutanan mengenai rencana kerjasama pengembangan bambu di Indonesia selama 5 tahun.

MoU ini merupakan payung kerjasama dan akan ditindaklanjuti dengan penyusunan Detailed Project Proposal. Proposal tersebut akan disusun oleh INBAR bersama-sama dengan Direktorat Jenderal RLPS dan selanjutnya akan disampaikan kepada lembaga donor untuk mendapatkan bantuan pendanaan.

Tahap awal kegiatan akan difokuskan pada pembangunan model rumah bambu tahan gempa di kabupaten Bantul, DIY dengan biaya relatif murah, berkisar antara US$ 600 sampai dengan US$ 800 per unit rumah. Berikutnya, tahap kegiatan akan mencakup bidang yang lebih luas antara lain peningkatan kemampuan kelembagaan, penelitian terapan dan pengembangan sumberdaya bambu, pertukaran tenaga ahli, alih teknologi, dan training bidang budidaya, manajemen, dan pemrosesan bambu.

Latar belakang perlunya dikembangkan sumberdaya bambu adalah bahwa bambu merupakan salah satu komoditas yang memiliki prospek cukup menjanjikan bila dikembangkan dalam skala luas di sektor kehutanan.

Manfaat bambu secara ekonomis dan ekologis, antara lain, bila dibandingkan dengan komoditas kayu, tanaman bambu mampu memberikan peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar hutan dalam waktu relatif cepat, yaitu 4-5 tahun. Manfaat ekonomis lainnya adalah pemasaran produk bambu baik berupa bahan baku sebagai pengganti kayu maupun produk jadi antara lain berupa sumpit (chop stick), barang kerajinan (furniture), bahan lantai (flooring), bahan langit-langit (ceiling) masih sangat terbuka untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun ekspor. Dari sisi ekologis, tanaman bambu memiliki kemampuan menjaga keseimbangan lingkungan karena sistem perakarannya dapat mencegah erosi dan mengatur tata air serta dapat tumbuh pada lahan marginal.

International Network for Bamboo and Rattan (INBAR) adalah organisasi internasional yang bergerak di bidang pengembangan komoditas bambu dan rotan yang didirikan tahun 1997. Penggagas berdirinya organisasi tersebut adalah Indonesia bersama negara-negara produsen bambu dan rotan lainnya antara lain RRC, India, Canada, Philipina, Bangladesh, Myanmar, Nepal, Peru, dan Tanzania.

PUSAT INFORMASI KEHUTANAN
Jakarta, 12 Juni 2007

Kepala Pusat,

ttd.

DR. Ir. Achmad Fauzi Masud, MSc.
NIP. 080030366

 

Grand Strategy Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional

Oleh: Ir. Suharisno, MM /Tenaga Ahli pada Ditjen RLPS.
I. PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 
Komunitas kehutanan selama ini masih dininabobokan hasil hutan kayu baik dari hutan alam maupun dari hutan tanaman, padahal disisi lain masih terdapat potensi kawasan hutan yang bernilai ekonomis yang perlu digali dan dioptimalkan pengelolaan pemanfaatan maupun pemungutannya, seperti aneka usaha kehutanan dari hasil hutan bukan kayu yang hampir tidak terjamah, meskipun potensinya sangat besar.

Sumberdaya hutan (SDH) mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil Hutan Kayu (HHK) seperti yang terjadi saat ini, melainkan juga manfaat Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), karbon dan ekowisata.

Sejalan dengan itu, ke depan pembangunan kehutanan diharapkan tidak lagi hanya berorientasi pada hasil hutan kayu, tetapi sudah selayaknya menggali potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), sehingga perlu kebijakan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan HHBK sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Pengelolaan pemanfaatan HHBK) tercantum pada UU. No. 41 tahun 1999, yaitu pasal 26 (pemungutan HHBK pada Hutan Lindung), pasal 28 (pemanfataan HHBK pada hutan produksi). Demikian juga halnya pada PP no 6 tahun 2007, upaya optimalisasi HHBK juga terdapat pada pasal 28 (Pemungutan HHBK pada Hutan Lindung), pasal 43 (Pemanfaatan HHBK dalam hutan tanaman pada hutan produksi).

Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) disusun sebagai pelaksanaan mandat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. RKTN disusun berdasarkan hasil inventarisasi hutan nasional, merupakan rencana jangka panjang 20 tahun yang meliputi seluruh fungsi pokok hutan (konservasi, lindung dan produksi). RKTN meliputi seluruh aspek pengurusan hutan (perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, Litbangdiklatluh, dan pengawasan). RKTN sebagai rencana sektor kehutanan akan menjadi acuan bagi penyusunan rencana-rencana yang cakupannya lebih rendah baik berdasarkan skala geografis, jangka waktu rencana maupun program-program pembangunan kehutanan.

RKTN diharapkan dapat memberikan arah pengurusan hutan ke depan untuk dapat mengembalikan potensi multi fungsi dari hutan dan kawasan hutan serta pemanfaatannya secara lestari bagi kesejahteraan rakyat Indonesia serta mampu memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan pemeliharaan lingkungan global, yang didasarkan pada kerangka pikir sebagai berikut:


Sistem perencanaan HHBK menjadi salah satu kebijakan yang bersifat pengarus-utamaan (main streaming) pada sistem perencanaan hutan, yang memberikan arahan pemanfaatan, rehabilitasi dan konservasi, penelitian dan pengembangan, kelembagaan, organisasi dan sumberdaya manusia, serta pemberdayaan masyarakat.

B. Maksud dan Tujuan

Penyusunan Grand Strategy ini adalah untuk memberikan arah, kebijakan serta gambaran pengembangan HHBK kepada pelaku usaha, para pihak dan masyarakat yang akan mengembangkan usaha HHBK. Sedangkan tujuannya adalah :
1.  Menggali potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternatif sumber pangan, sumber bahan obat-obatan, penghasil serat, penghasil getah-getahan dan lainnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Mendukung kebijakan nasional dalam mengembangkan dan meningkatkan produksi HHBK.
 3. Adanya acuan mulai dari perencanaan sampai pasca panen bagi pelaku usaha, para pihak dan masyarakat luas dalam pengembangan HHBK;

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penyusunan Grand Strategy ini meliputi: Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan HHBK 2009 – 2014.


II. ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HHBK

A. Prospek Pengembangan 

1. Kondisi Saat Ini
Nilai tambah terbesar HHBK adalah pada perdagangan internasional (ekspor), dan ini berlaku untuk semua komoditas, di semua Negara produsen. Terdaftar 10 properti pasar internasional untuk komoditi HHBK yang sekarang ini menunjukkan kinerja ekspor yang potensial. Dari 10 properti tersebut, 6 properti dapat dijadikan arahan untuk pengembangan ekspor HHBK ke pasar internasional, dan 4 properti lainnya merupakan keterbatasan yang harus diperhatikan ketika akan dilakukan pengembangan ekspor.

Di Indonesia melalui Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.35/Menhut-II/ 2007 telah ditetapkan 558 komoditas HHBK baik nabati maupun hewani yang menjadi urusan kehutanan. Sampai saat ini telah terkumpul informasi sebaran Komoditas Unggulan HHBK Per Provinsi (Tabel 1).

 

 

 

2. Kondisi yang diharapkan.

Diharapkan dengan pengembangan HHBK pada wilayah sentra produksi baik yang berasal dari kawasan hutan maupun luar kawasan hutan melalui serangkaian kebijakan pengembangan HHBK :
a. Mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu.
b. Peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari HHBK serta menimbulkan kesadaran dalam pemeliharaan kawasan hutan.
c. Meningkatkan devisa sektor kehutanan non kayu.
d. Terciptanya lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari komoditi HHBK.

3. Peluang Intervensi.

Peluang Indonesia untuk memanfaatkan pasar internasional cukup terbuka. Keterbukaan tersebut terutama didorong oleh : pertumbuhan ekspor HHBK dunia yang bagus, yakni sekitar 15% per tahun, sebaran negara pengimpor HHBK yang cukup lebar, preferensi konsumen yang menilai tinggi pada produk yang terkait dengan proses alami di hutan terutama hutan tropis, dan biaya produksi yang murah di negara-negara produsen produk primer.

Ketika properti pasar internasional, baik yang bersifat membuka pengembangan, maupun yang bersifat keterbatasan, akan ditanggapi lebih tertata, maka masing-masing dapat dihadapkan pada langkah utama atau fokus intervensi. Langkah utama atau fokus intervensi tersebut berupa salah satu atau kombinasi dari yang berikut ini :
a. Strategi pelayanan nilai-nilai pada pasar global
b. Strategi pelayanan pada pasar dan ekonomi nasional
c. Strategi pelayanan pada pasar dan ekonomi lokal
d. Kebijakan nasional
e. Peningkatan peran pemerintah daerah
f. Peningkatan Potensi dan ragam
g. Peningkatan Kapasitas pengelolaan usaha/produksi
h.Optimasi pelayanan pasar untuk komoditas tertentu
i. Peningkatan pengelolaan Informasi dan pembelajaran
j. Pengembangan teknologi
k. Peningkatan kepemimpinan
l. Peningkatan akses finansial

Di sisi sistem produksi HHBK, masing-masing produk HHBK dihadapkan pada karakter potensi sumberdaya, kinerja ekonomi (yang pernah tercatat), karakter morfologis yang berpotensi mendorong pengembangan, berpotensi sebagai hambatan, berpotensi membuka peluang pengembangan, bersifat terbatas, serta ancaman terhadap sumberdaya maupun usaha komoditas HHBK yang bersangkutan. Tabel 4 menyajikan secara lebih terinci mengenai profil singkat HHBK di Indonesia. Setiap sistem usaha komoditas HHBK mempunyai ciri morfologis tersendiri yang perlu diperhatikan pada saat akan dirumuskan strategi pengembangan yang spesifik. Ada beberapa komoditas yang sudah dapat diusahakan pada skala menengah (rotan, pinus, kayu putih, arwana, walet) tetapi komoditas lainnya masih sangat kental dengan bentuk skala usaha rumah tangga, kelompok, dan skala usaha kecil.

Pada masing-masing komoditas kemudian diidentifikasi kunci intervensi pengembangannya, mulai dari kunci pemasaran, kebijakan, kapasitas usaha, sampai dengan kepemimpinan dan akses finansial. Dapat dicermati pada tabel tersebut bahwa pengembangan usaha HHBK di semua komoditas selalu memerlukan dua hal penting sebagai kunci intervensi, yakni:
a. informasi dan peningkatan kapasitas melalui pengelolaan informasi dan pembelajaran yang terus menerus,
b. kepemimpinan, yang dapat diartikan sebagai ketokohan untuk melakukan berbagai terobosan dalam memanfaatkan peluang pasar, memaksimumkan potensi dan menemukan strategi yang tepat untuk menanggapi berbagai situasi yang menghambat. Kepemimpinan ini diperlukan dengan berbagai kualitas di tingkat kebijakan/ kepemerintahan, pemerintah daerah, lembaga bisnis di tingkat unit usaha, dan pada aktor pendamping masyarakat (LSM).

Keterbatasan-keterbatasan perilaku industri hilir yang masih dikuasai Negara pengimpor, struktur pasar internasional cenderung oligopsonik, kentalnya peran pengepul (agen) di negara produsen, serta belum mantapnya standarisasi produk HHBK primer, untuk sementara ini pengembangan hanya dapat dilakukan pada produk bahan mentah dan industri primer saja.
 

 

B. Kerangka Pemikiran Grand Strategy HHBK

HHBK dapat berasal dari kawasan hutan dan luar kawasan hutan/lahan milik atau hutan rakyat. HHBK yang berasal dari kawasan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999, dan PP No. 6 tahun 2007 dan perubahannya dibedakan menjadi: (a) HHBK yang berasal dari hutan lindung dan dikenal dengan nama pemungutan, (b) HHBK berasal dari hutan produksi baik hutan alam maupun hutan tanaman dikenal dengan istilah pemanfaatan. Pemungutan HHBK yang berasal dari hutan lindung antara lain berupa: rotan, madu, getah, buah, jamur, sarang burung walet dan penangkaran satwa liar. Sedangkan hasil HHBK dari hutan produksi antara lain:
1. Rotan, sagu, nipah, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, dan pemasaran hasil.
2. Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.

Langkah-langkah dalam Pengelolaan Pemanfaatan :

1. Inventarisasi dan pemetaan potensi HHBK didalam dan diluar kawasan hutan, Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh:
  • Sebaran potensi per komoditas per Provinsi
  • Sebaran potensi per komoditas per Kabupaten
2. Penentuan/seleksi jenis komoditas HHBK prioritas yang akan dikembangkan pada suatu wilayah. Untuk menentukan prioritas pengembangan HHBK pada suatu wilayah, ditetapkan kriteria, antara lain:
  • Prospek pasar (lokal, regional, dan Internasional)
  • Kesiapan infrastruktur menuju sentra HHBK
  • Dukungan pengusaha dan Pemda setempat
3. Penyusunan/Perumusan Kebijakan yang mendukung pengelolaan HHBK. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pelaku usaha dan masyarakat yang akan melaksanakan pengembangan HHBK. Langkah ini bersifat lintas sektor, antara lain:
  • Alokasi lahan produksi (alam dan tanaman) untuk pengembangan HHBK
  • Insentif bagi pengusaha dibidang HHBK (Pelaku Usaha)
  • Insentif bagi masyarakat yang akan mengembangkan HHBK.
Kerangka pemikiran pengelolaan pemanfaatan HHBK dapat dilihat pada Gambar.2.

 

C. Program Pengembangan HHBK

1. Pengelompokan HHBK berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.35/Menhut-II/2007 adalah:
a. Kelompok Resin.
b. Kelompok Minyak Atsiri.
c. Kelompok Minyak Lemak, Pati, dan Buah-buahan.
d. Kelompok Tannin, Bahan Pewarna dan Getah.
e. Kelompok Tumbuhan Obat dan Tanaman Hias.
f. Kelompok Palma dan Bambu.
g. Kelompok Alkaloid.
h. Kelompok Lainnya.
i. Kelompok Hasil Hewan.

2.  Road Map HHBK sektor kehutanan (2010 s/d 2025) maka program pengembangan HHBK sektor kehutanan terdiri atas :
Tier 1 (level 1) : HHBK yang termasuk dalam kelompok advance (komoditas HHBK ekonomis yang telah dikuasai teknik budidaya dan teknologi pengolahan).
Tier 2 (level 2) : HHBK yang termasuk dalam kelompok intermediate (komoditas HHBK ekonomis yang belum sepenuhnya dikuasai teknik budidaya dan teknologi pengolahan).
Tier 3 (level 3) : HHBK yang termasuk dalam kelompok preliminary (komoditas HHBK ekonomis yang belum dikuasai teknik budidaya dan teknologi pengolahannya).
(Sumber : Road Map Sektor Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan, 2008)
Setiap lima tahun dilakukan evaluasi terhadap perkembangan status dan produktifitas HHBK pada setiap level.

3. Faktor Pendukung Pengembangan HHBK
a. Pemantapan kawasan
  • Peningkatan kelengkapan, keakuratan dan keterkinian hasil inventarisasi HHBK di dalam setiap kegiatan inventarisasi hutan; Pelaksanaan inventarisasi HHBK di tiap level; Metode dan pelaksanaan inventarisasi HHBK; Jenis parameter inventarisasi hutan dimasing-masing level.
  • Percepatan proses pengukuhan; Penyelesaian konflik kawasan; Identifikasi kawasan hutan yang potensial untuk non kehutanan: Proses penyesuaian tata ruang; Rekonstruksi (tinjau ulang) dan realisasi tata batas.
  • Percepatan proses pembentukan unit-unit KPH pada seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi) dengan mengarus-utamakan kelas perusahaan HHBK.
  • Implementasi dari perencanaan pengembangan HHBK sebagai bagian dari sistem perancanaan kehutanan menuju terwujudnya rencana kehutanan yang hirarkis dan terintegrasi mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan, yang meliputi jangka waktu panjang dan pendek pada seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi).
  • Mempertimbangkan Indonesia merupakan kepulauan (terdiri dari lebih kurang 17.000 pulau yang sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil), dengan kawasan hutan yang juga tersebar di sebagian besar pulau-pulau tersebut, maka arah pengembangan HHBK harus mempertimbangkan ekosistem, termasuk ekogeografis yang spesifik.
b. Mitigasi perubahan iklim.
  • Terselenggaranya secara optimum peran kawasan hutan di dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan diterimanya imbalan yang seimbang dari peran tersebut. Pengembangan HHBK ditempatkan sebagai salah satu elemen pendukung percepatan pembentukan KPH untuk diposisikan sebagai register area dalam mekanisme perdagangan karbon.
  • Identifikasi lokasi-lokasi yang potensial memasuki skema pasar karbon dan membangun model implementasi skema perdagangan karbon dengan lebih menitik-beratkan pemanenan HHBK serta lebih banyak menunda pemanenan kayu untuk memperbesar cadangan karbon.
  • Penyelenggaraan penelitian kemampuan/kapasitas penyerapan dan penyimpanan karbon (CO2) oleh tegakan hutan dan pengembangan sistem perhitungannya, ketika tegakan lebih diarahkan untuk produksi HHBK.
c. Pemanfaatan hutan
  • Penyempurnaan pedoman dan percepatan tata hutan baik untuk hutan konservasi, lindung dan produksi sebagai dasar arahan bentuk
    pemanfaatan hutan dalam sistem KPH yang meliputi kayu dan bukan kayu; Penyusunan rencana pengelolaan hutan pada setiap unit KPH.
  • Peningkatan kegiatan inventarisasi sumberdaya hutan sehingga dapat dikuasainya data/informasi potensi hutan sebagai dasar pemanfaatan kayu dan bukan kayu yang lestari.
  • Intensifikasi pemanfaatan lahan hutan; peningkatan produktifitas melalui perbaikan teknik silvikultur yang disesuaikan dengan tipologi hutan setempat; Joint production (dalam satu tapak hutan dapat dimanfaatkan dengan berbagai tujuan misalnya hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan sekaligus jasa lingkungan air, dsb).
  • Pemanfaatan hutan guna produksi hasil hutan bukan kayu diselenggarakan oleh usaha skala kecil untuk menciptakan dunia usaha kehutanan yang tahan (lentur) menghadapi perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis.
  • Peningkatan pemberdayaan masyarakat di dalam pemanfaatan hutan, antara lain melalui peningkatan kapasitas dan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan termasuk di dalamnya HHBK, dengan memanfaatkan secara maksimal instrumen pemberdayaan (pola kemitraan, HKm dan Hutan Desa) serta pelibatan dalam usaha kehutanan skala kecil antara lain melalui HTR, dll.
d. Rehabilitasi
  • Meningkatkan pertimbangan pengembangan HHBK pada percepatan pembangunan hutan tanaman (HTI dan HTR), pembangunan hutan rakyat, GERHAN, dan gerakan menanam lainnya sehingga lebih dapat terjamin adanya laju rehabilitasi yang lebih besar dari laju degradasi
  • Percepatan rehabilitasi pada DAS prioritas dengan memaksimumkan kelas perusahaan HHBK untuk meningkatkan daya dukung ruang hidup.
  • Kegiatan rehabilitasi dipersiapkan kemungkinannya untuk memasuki skema voluntary carbon market, yang dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
e. Perlindungan dan pengamanan hutan
  • Penguatan peraturan perundangan dan kelembagaan untuk meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan pemberantasan gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan melalui berbagai insentif yang melekat pada pengembangan HHBK.
  • Penyadaran dan penguatan kelembagaan masyarakat untuk ikut berperan dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan melalui berbagai insentif pemanfaatan HHBK.
  • Penegakan hukum (low enforcement) yang adil dan transparan.
f. Konservasi alam
  • Pemanfaatan HHBK tidak dapat dilepaskan dari upaya peningkatan upaya konservasi keanekaragaman hayati melalui konservasi ekosistem in-situ dan konservasi ex-situ.
  • Penguatan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem, jenis dan genetik melalui kolaborasi pengelolaan, profesionalisme sumber daya manusia, penerapan good forest governance serta pengembangan sistem insentif konservasi yang kondusif.
  • Memperluas pelaku dan jumlah jenis pemanfaatan HHBK di kawasan konservasi.
g. Penelitian dan Pengembangan
  • Pemanfaatan hasil Litbang dan teknologi dalam pemanfaatan HHBK untuk meningkatkan efisiensi serta nilai tambah pemanfaatan hutan.
  • Membangun kegiatan penelitian yang lebih integratif; melibatkan berbagai disiplin ilmu dan berorientasi kepada kebutuhan pengguna (user-oriented); menghasilkan produk HHBK dan teknologi pengembangannya yang inovatif, bernilai tambah tinggi, berorientasi pasar, ramah lingkungan dan berdaya saing tinggi.
h. Kelembagaan
  • Kelembagaan pengurusan HHBK dibangun kembali dengan sumberdaya manusia yang berorientasi pada kompetensi program dan kerja, dengan dukungan organisasi dan tata hubungan kerja serta sumber dana, SDM yang berkualitas dalam jumlah dan penyebaran yang memadai.
  • Penguatan SDM melalui pengembangan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan berbasis kompetensi usaha HHBK; pengembangan standardisasi kompetensi, peningkatan jumlah dan distribusi SDM profesional kehutanan; serta pembinaan SDM kehutanan untuk pengembangan HHBK.
  • Penyuluhan kehutanan dilakukan secara terintegrasi (pusat dan daerah); Peningkatan penyuluhan terpadu, bimbingan teknis dan pendampingan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan; Bisnis dan pemasaran HHBK, Penyesuaian program penguatan kelembagaan penyuluhan kehutanan guna melayani kebutuhan pengembangan HHBK; termasuk perluasan sasaran penyuluhan kehutanan.
  • Pengawasan yang menjamin terselenggaranya pengurusan hutan sesuai dengan mandat UU, sebagai umpan balik yang menjadi bahan penyempurnaan kebijakan pengurusan hutan dari waktu ke waktu; Optimalisasi peran pengawasan kinerja pembangunan kehutanan oleh unsur masyarakat.
  • Pengembangan kebijakan/regulasi tentang HHBK yang dapat memfasilitasi terselenggaranya kebijakan yang lebih bersifat insentif daripada disinsentif serta penerapan pemerintahan yang baik (good governance).
III. STRATEGI PENGEMBANGAN HHBK 2009 – 2014

A. Unggulan Prioritas HHBK
Untuk memacu perkembangan HHBK perlu ditetapkan unggulan nasional. Penetapan unggulan nasional diperlukan agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara optimal. Unggulan nasional dipilih berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut :
- Ekonomi
- Bio fisik dan lingkungan
- Kelembagaan
- Sosial
- Teknologi.
Berdasarkan hasil kajian telah ditetapkan 5 komoditas HHBK unggulan nasional, yaitu: Bambu, Sutera Alam, Lebah Madu, Gaharu dan Rotan. Selain 5 komoditas HHBK unggulan nasional, daerah dapat mengembangkan komoditas HHBK yang diunggulkan berdasarkan potensi HHBK dan kemampuan daerah.

B. Stakeholder Utama
Agar dapat dicapai hasil-hasil yang maksimal, perlu dipetakan peran pelaku utama kedalam lini-lini kegiatan dan hubungan keterkaitan antar lini dalam pengembangan HHBK. Pelaku utama dikelompokkan dalam lini-lini kegiatan sebagai berikut :
1. Lini: Fasilitasi, Regulasi
2. Lini: Litbang
3. Lini: Produksi
4. Lini: Industri
5. Lini: Promosi/Pemasaran
6. Lini : Penyuluhan dan Pengembangan SDM
7. Lini : Inkubasi dan BDS
Hubungan antar lini diatur berdasarkan penetapan kelompok institusi, kegiatan operasional dan keluaran yang harus dihasilkan dari tiap-tiap lini yang tersaji dalam tabel 5.


C. Pendekatan Klaster HHBK.

Klaster adalah kelompok yang terdiri atas jejaring pengusaha yang secara bersama-sama memajukan kesejahteraan di tingkat wilayah melalui penguasaan dan pengendalian rantai suplai dan rantai nilai. Klaster menjadi perangkat deskriptif pengembangan ekonomi wilayah yang mengandung makna yang lebih kaya untuk mendorong perubahan di dalam dinamika di wilayah yang bersangkutan. Klaster merepresentasikan rantai suplai dari suatu spektrum aliran produk dan jasa yang saling berkaitan yang didukung oleh penyediaan infrastruktur fisik dan infrastruktur ekonomi. Klaster meyediakan nilai tambah tenaga kerja, baik tenaga kerja rendah maupun tenaga kerja yang berkenaan dengan nilai tambah tinggi.

Untuk pengembangan HHBK, pendekatan klaster sekaligus menjawab tantangan peran kehutanan dalam penanggulangan kemiskinan. Klaster memuat saling keterkaitan antara kekuatan internal yang ada di dalam wilayah yang bersangkutan dengan kekuatan eksternal yang berasal dari situasi pasar, kebijakan nasional, dan kondisi makro ekonomi. Ini berarti bahwa pendekatan klaster selalu berusaha membawa kekuatan internal, termasuk tokoh-tokoh lokal, kelembagaan lokal, dan kebijakan pemerintah daerah ke dalam percaturan bisnis dan ekonomi yang lebih global.

Klasterisasi pengembangan HHBK berimplikasi pada penataan konfigurasi industri pada spektrum barang dan jasa yang melayani pengembangan HHBK pada tingkatan industri dan jasa berikut ini:

1. Resource-based industry, yang dimulai dari usaha produktif pengumpulan atau budidaya bahan asalan HHBK dan pengolahan hulu HHBK serta industri bahan penolong.
2. Low-technology industry, yang meliputi fasilitas pemrosesan produk HHBK untuk dijual kepada konsumen melalui teknologi konvensional non-automatic.
3. Medium-technology industry, yakni usaha pengolahan HHBK melalui proses-proses automatic maupun kimia sebelum disajikan kepada konsumen.
4. Jasa perdagangan perantara.
5. Jasa perdagangan lokal.
6. Jasa perdagangan antar pulau.
7. Jasa perdagangan internasional.
Hampir semua aktivitas pada setiap tingkatan industri HHBK dapat dilayani oleh unit-unit usaha mikro-kecil-menengah. Namun demikian, ukuran atau skala industri tidak berarti dapat meninggalkan keharusan pendekatan klaster, yakni kemampuan bersaing secara global melalui proses pembelajaran dan inovasi yang terus menerus. Pembelajaran diartikan sebagai usaha untuk memperoleh pengetahuan baru dari semua sumber yang mungkin (internal maupun eksternal), dan melakukan aktualisasi penambahan pengetahuan tersebut ke dalam kompetensi dan standar yang lebih tinggi. Inovasi, di sisi yang lain, dimengerti sebagai pengembangan produk dan layanan konsumen yang lebih baru dan atau yang lebih unggul daripada yang sebelumnya.
Interkoneksi bisnis di dalam klaster dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3 berikut.


Manfaat Pengembangan HHBK Berbasis Klaster :
  • Untuk mengkonsentrasikan inovasi produksi, managemen dan pemasaran.
  • Untuk mengintegrasikan proses produksi dan rantai suplai dalam peningkatan daya saing.
  • Untuk mempertemukan mitra usaha dalam mekanisme transaksi yang menjamin keberlanjutan bisnis.
  • Untuk memonitor efektivitas keterkaitan usaha di dalam kesatuan rantai nilai.
  • Untuk membangun gugus kerja berkualitas.
  • Untuk membangun pemasaran yang efektif dalam rangka peningkatan daya saing sisi permintaan..
  • Untuk mengefisienkan pelayanan finansial.
  • Untuk mencegah praktek kecurangan usaha.

D. Pengembangan Klaster HHBK Unggulan

Model pelaksanaan pembangunan klaster setidaknya mencakup tiga tahapan besar, yakni tahapan inisiasi, tahapan peningkatan produksi, dan tahapan peningkatan daya saing melalui kualitas dan inovasi. Menjadi jelas kiranya bahwa pembangunan klaster HHBK tidaklah sekedar memperbanyak produksi pada suatu wilayah, tetapi lebih dari itu menyangkut pengembangan keterkaitan bisnis di dalam jejaring yang teratur, disertai dengan peningkatan kualitas dan pengembangan inovasi produk dan jasa serta manajemen bisnis (Gambar 4).

 

Pola pembinaan yang dikembangkan dapat mengembangakan pola klaster maupun mengkombinasikan dengan lainnya sehingga pengambil kebijakan Pusat dengan para pihak di daerah (Pemda, UPT, Bank maupun lembaga keuangan non bank di buat skim pendanaan) dapat bersinergi.

E. Unit Pengembangan HHBK

Agar diperoleh hasil yang optimal pengembangan HHBK harus dilaksanakan dengan basis unit pengelolaan yang baik agar dapat mewujudkan hal tersebut maka unit-unit pengembangan digolongkan sebagai berikut :

1. Unit Bentangan Lahan.
  • Satuannya berupa bentangan lahan yang digunakan sebagai tempat budidaya.
  • Dari bentangan lahan tersebut dapat diperoleh produk dengan volume mencapai skala ekonomis.
2. Unit Satuan Berbentuk Desa.
Untuk jenis tanaman tertentu dapat ditanam diberbagai tempat, misalnya pada lahan-lahan pribadi, kakija, kakisu, spot-spot lahan kosong. Kumpulan dari berbagai tapak tadi dihimpun jadi satu unit sehingga dapat mencapai skala ekonomi.

3. Unit Satuan Berbentuk Kelompok
  • Yang menjadi inti pengembangan adalah individu petani yang membudi dayakan HHBK.
  • Kumpulan individu yang dipersatuakn menjadi satu kesatuan manajemen yang mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang mencapai skala ekonomis.
4. Unit-unit pengembangan HHBK selanjutnya akan diintegrasikan dengan unit-unit industri untuk proses lebih lanjut dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan memenuhi pasar bebas.

F. Pola Kemitraan dan Kerjasama antar Stakeholder dalam pengembangan HHBK.
1. Akan dibangun sinergi dari pelaku utama pengembangan HHBK agar diperoleh unit/pengembangan dengan daya saing yang tinggi.
2. Pola-pola kemitraan, dan kerjasama difokuskan pola sinergi antara
  • Kelompok tani
  • Investor
  • Industriawan
  • BUMN
  • Sumber IPTEK unggulan
  • Fasilitator
G. Insentif yang akan dikembangkan.
Pemerintah sebagai pemicu (trigger) dalam pengembangan HHBK dapat berperan antara lain dalam hal:

1. Membangun Pilot Project pengembangan HHBK dengan Pola BOT (Built, Operate, Transfer) dalam hal ini pemerintah membangun unit HHBK secara langsung mulai dari produksi bahan baku sampai unit-unit industri pengolahannya. Selain itu menyiapkan SDM, Sarana Prasarana kemudian secara bertahap diserahkan ke Kelompok Tani untuk dikelola lebih lanjut.

2. Menyiapkan Sarana Prasarana produksi untuk diberikan kepada kelompok-kelompok yang akan membentuk unit HHBK, sarana produksi dapat berupa: benih unggul (materi genetik unggul), Mesin pemroses, pupuk dll.

3. Membantu Penguatan Kelembagaan antara lain melalui:
  • Penyiapan Pedoman
  • Pelatihan Teknis
  • Pelatihan Manajerial
  • Study banding
  • Pertemuan-pertemuan, Seminar, Diskusi
  • Pemasaran
4. Promosi
Mempromosikan program-program yang berkaitan dengan pengembangan HHBK benih melalui:
  • Aktivitas Penyuluhan
  • Penyebarluasan Informasi
  • Penguatan jejaring kerja
H. Monitoring dan Evaluasi.
Monitoring dan Evaluasi akan dilaksanakan dengan tertib agar secara terus, menerus dapat diperoleh pembelajaran dan sekaligus penyempurnaan yang diperlukan.

I. Regulasi.
Secara prinsip regulasi diarahkan pada upaya peningkatan produktivitas dan daya saing sehingga regulasi yang menghambat secara bertahap akan dideregulasi.
J. Program Aksi 2009 s/d 2014

Sumber : http://bamboeindonesia.wordpress.com/pelestari-bambu/kebijakan-hutan-bambu/

1 komentar:

  1. Makasih sharing infonya pak Dian, bagus banget. Saya dari dulu pengeen bebaskan 5 ha tanah lalu tanamin bambu sekelilingnya. ketika sdh jadi hutan bambu, area tengahnya jadi pusat kreatifitas dan seni bambu, dimana tempat seluruh dunia belajar tentang bambu. Dan itu ada di Bajawa, Ngada NTT. Hm, semoga Tuhan dan semesta menerima dan mewujudkan energi positif ini!

    BalasHapus