Rabu, 23 Januari 2013

Hijau dengan Bambu


Hijau dengan Bambu

Oleh Norbertus Kaleka

GIANT grass atau rumput raksasa. Itulah julukan yang sering diberikan untuk tanaman bambu. Kenampakan bambu memang menyerupai ilalang raksasa yang bertumbuh lurus menjulang ke langit  hingga bisa setinggi 30 meter.

Tanaman bambu dikelompokkan dalam familia rumput-rumputan (padi-padian) atau Poacea (Gramineae). Tumbuhan yang termasuk dalam suku tersebut sangat banyak jenisnya dan merupakan tumbuhan paling penting bagi manusia karena merupakan sumber pangan utama, seperti padi, jagung, gandum, sorgum, tebu, rumput gajah untuk pakan ternak, akar wangi, atau serai. Memang ada pula  tumbuhan penggangu (gulma) yang berasal dari familia tersebut, seperti alang-alang yang bersaing dengan tanaman budi daya sehingga merugikan.

Tanaman bambu memiliki jenis yang sangat banyak. Menurut Dransfield dan Widjaya (1995), di Asia Tenggara ditemukan sekitar 200 jenis bambu dari 20 genera (marga). Di Indonesia terdapat sekitar 60 jenis. Sementara di seluruh dunia terdapat lebih dari 1000 jenis bambu dalam 80 marga. Beberapa jenis yang bisa disebutkan misalnya :
Gigantochloa atroviolaceae - pring wulung (Jawa),

Gigantochloa atter  - pring legi (Jawa),  atau

Gigantochloa atroviolaceae (bambu hitam).

Akrab
Tanaman bambu mudah ditemukan dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Bambu memiliki pertumbuhan yang cepat dan dapat tumbuh baik di lahan sangat kering (iklim semi arid) seperti di Nusa Tenggara Timur hingga daerah yang banyak curah hujannya, asalkan rumpunnya tidak tergenang air.

Di bulan Agustus seperti sekarang ini, para penjual bendera pun selalu melengkapi dagangannya dengan bambu sebagai tiang bendera. Sebab itu bambu tidak asing dan bahkan sangat akrab dengan masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan.

Meski bambu sangat akrab dengan kita, tetapi Prof Dr Elisabeth A Widjaja, seorang peneliti bambu dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengatakan bahwa 15 tahun ke depan orang Indonesia tidak akan melihat pohon bambu lagi akibat eksplorasi besar-besaran tanpa disertai budi daya (Suara Merdeka, 27 Juni 2009). Bambu masih dipandang bukan kebutuhan utama, seperti kayu, sehingga mengambil secara terus menerus tegakan alami bambu tanpa penanaman kembali akan berujung pada kepunahan tanaman tersebut.

Bambu sebetulnya merupakan tanaman serbaguna. Bahkan dibanding kayu, nilai ekonomi bambu jauh lebih tinggi.  Itulah sebabnya, bambu dikategorikan sebagai multipurpose tree spisies atau jenis pohon serbaguna.
Sebagai tumbuhan serbaguna, bambu biasa digunakan di pedesaan untuk bahan bangunan sebagai kaso, reng, tiang, dinding, lis, galar, dan lantai. Bambu digunakan pula dalam pembuatan furnitur, perkakas rumah tangga, kerajinan tangan seperti kap lampu, keranjang, tas, topi, serta digunakan untuk sumpit, tusuk gigi dan tusuk sate.  Untuk kebutuhan kuliner, rebung bambu menjadi sajian yang enak.

Di daerah seperti Jawa Barat, bambu berguna untuk pembuatan alat musik seperti angklung. Bambu juga digunakan untuk pembuatan alat musik tiup (seruling), alat musik gesek, alat musik pukul, kentongan, dan lain-lain.  Bambu memiliki manfaat yang demikian luas seperti untuk industri kertas dan pulp, transportasi, tekstil, hingga pengobatan.

Penghijauan

Eksploitasi bambu memang lebih banyak ditujukan untuk memperoleh manfaat secara sosial, ekonomi, dan budaya. Tetapi salah satu manfaat bambu yang belum dimanfaatkan secara serius adalah peran ekologi.
Bambu diketahui memiliki peran penting dalam konservasi air dan tanah. Bambu mampu menyerap air hujan hingga 90%. Bandingkan dengan pepohonan yang hanya menyerap 35-40%. Orang Kolombia (Amerika Selatan) mengatakan mereka menanam air apabila menanam bambu. Menurut laporan Environment Bamboo Foundation setelah beberapa tahun menanam bambu debit air meningkat dan dalam beberapa kasus muncul mata air baru, sehingga bambu sungguh memberi harapan untuk upaya konservasi air.

Tanaman bambu dapat menjadi senjata yang ampuh untuk melawan pemanasan global. Pertumbuhan tanaman tersebut tergolong cepat dan merupakan penghasil oksigen yang besar dibandingkan pohon kayu. Daya serap karbon (C02) di udara juga cukup tinggi sehingga tepat kalau digunakan untuk penghijauan.

Jawa merupakan pulau terpadat dengan aktivitas industri dan transportasi  yang sangat tinggi. Bencana longsor dan banjir terus mendera pulau ini. Hutan memang sudah sangat kritis. Kementerian Lingkungan Hidup RI mencatat bahwa hutan di Jawa tinggal 8,2% dan terus menurun dari tahun ke tahun.  Banjir sungai Bengawan Solo yang merendam berbagai kota dan kabupaten di Jateng dan Jatim diakibatkan oleh tutupan lahan berupa hutan alam di daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo berkurang terus karena menjadi kebun campuran dan tanah terbuka. Tahun 2000, luas hutan alam di DAS Bengawan Solo adalah 34.910 hektare  atau 2,04 % dari total luas DAS yang mencapai 1,71 juta hektare, tetapi pada tahun 2007 jumlahnya tinggal 23.888 hektare atau hilang 11.023 hektare (31,5 persen).

Bambu dapat menjadi pilihan untuk menghijaukan lahan kritis DAS. Akar serabut bambu yang tumbuh sangat rapat meski sudah mati sekalipun setelah ditebang tetap berbentuk serabut dan mampu menyerap air sangat cepat. Ketika La Nina dengan curah hujan yang tinggi di atas normal dan terus menerus, tanah di sekitar akar bambu tidak akan jenuh karena akan diserap dalam waktu sangat cepat. Longsor akan dapat diminilisasi begitu juga banjir. Sebab itu, baik pula bila bambu ditanam sebagai sabuk gunung atau bukit dan tebing-tebing untuk mencegah longsor.

Bambu tidak seperti pohon penghijauan yang lain, ketika dipanen (ditebang) hanya meninggalkan tunggul, sedangkan bambu, meski ditebang tetap meninggalkan rumpun dan tegakan bambu yang banyak. Dengan demikian, penghijauan dengan bambu merupakan pilihan yang layak secara ekologis. (24)

— Norbertus Kaleka, pemerhati lingkungan.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar