Bambu Atasi Kekeringan
Mengatasi Bencana Kekeringan dengan Kearifan Lokal
Oleh @dAsalbantaniPejuang Eco Village
Founder Banten Creative Community
Sumber:http://indonesianvillage.com/?p=2499
Musim hujan kebanjiran, musim panas
kekeringan. Aneh tapi nyata. Aneh karena Bumi Nusantara ini memiliki
hutan tropis terbesar kedelapan di dunia. Nyata karena hampir seluruh
wilayah di Indonesia sedang mengalami kekeringan, termasuk di Banten.
Itu semua dikarenakan ulah manusia yang
belum menjalankan habblumminalalam. Kita ini kebanyakan mengambil haknya
ke alam, namun kewajibannya sama sekali tidak dipenuhi. Sebagai contoh,
membangun rumah yang ada unsur kayunya, entah itu buat atap, balok,
tiang atau bekisting apakah diiringi dengan menanam pohon penggantinya?
Atau menggunakan kertas untuk menulis, sudahkah menggantinya dengan
menanam pohon sebanyak yang kita gunakan? Karena kertas itu bahan
bakunya dari kayu. Saya yakin pasti jawabannya belum. Nah itulah yang
dimaksud dengan manusia hanya menuntut haknya saja sedangkan
kewajibannya mengganti diabaikan.
Khusus di Banten, Provinsi yang terkenal
dengan kearifan lokal masyarakat adatnya yaitu Baduy dan Kasepuhan
Banten Kidul pun tidak luput dari bencana kekeringan dan kekurangan air
bersih. Bahkan salah satu Sultan Banten menyandang gelar Sultan Ageng
Tirtayasa, karena berhasil dalam mengatur tatakelola air sehingga pas
jamannya tidak ada bencana kekeringan dan kekurangan air bersih. Ini
tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja atau menjadi tanggung jawab
pemerintah saja. Tapi merupakan tanggung jawab bersama yang ada
hubungannya dengan habblumminalalam.
Di Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul punya
kearifan lokal yang sangat luar biasa sekali dalam menjaga keseimbangan
alam. Di sana tidak mengenal dampak bencana yang ditimbulkan oleh musim
hujan atau musim kemarau. Mata air masih terjaga, air sungai masih
mengalir, padi masih bisa dipanen, longsor, banjir dan kekeringan tidak
pernah terjadi. Itu semua dikarenakan oleh peraturan adat yang masih
dipegang teguh oleh masyarakatnya. Dan peraturan adat ini ternyata lebih
kuat dibanding peraturan yang dibuat oleh anggota dewan dan pemerintah.
Mereka punya yang namanya Hutan Titipan.
Hutan yang tidak boleh dimanfaatkan untuk apapun, baik itu kayunya
ataupun sumber daya alamnya. Bahkan untuk masuk pun tidak diperbolehkan
kecuali Pu’un/Abah/Olot/Oyot/Kepala Adat, itupun hanya setahun sekali.
Luasnya mencapai 30% dari luas kawasan. Mereka punya yang namanya Hutan
Tutupan. Hutan yang boleh dimanfaatkan tapi non kayu. Hutan inilah yang
menjaga mata air sumber kehidupan yang dialirkan melalui sungai.
Luasnya
mencapai 50% dari luas kawasan. Mereka punya yang namanya Tanah Olahan.
Tanah yang bisa dimanfaatkan untuk permukiman dan sawah serta ladang.
Luasnya hanya 20% dari luas kawasan. “Leuweung Hejo Rakyat Ngejo”,
demikian falsafah masyarakat adat Banten yang artinya jika hutannya
hijau, maka rakyatnya pun sejahtera. Sampai sekarang falsafah itu masih
terjaga dan bisa diterapkan di kawasan-kawasan lain sehingga bencana
alam bisa diminimalkan.
Selain tata ruang dan falsafah
kawasannya, Banten juga kaya tanaman bambunya. Memang belum ada catatan
yang pasti mengenai berapa persen atau berapa banyak hutan bambu yang
ada di Banten. Tapi dari beberapa wilayah yang pernah dikunjungi, baik
itu di Tangerang, Serang, Pandeglang dan Lebak, pohon bambu di Banten
itu sangat melimpah ruah bahkan sama sekali belum dijamah seperti di
kawasan buffer zone Ujung Kulon, Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul.
Berbicara lebih luas lagi untuk di negara
kita Indonesia, ketersediaan sumber daya air, terutama di Pulau Jawa
sudah sangat kritis. Dari jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar
sekitar 136, 31% DAS sangat kritis, 41% DAS kritis dan 28% DAS agak
kritis. Bagaimana dengan hutan di Indonesia? Dari data yang ada,
kehancuran hutan kita itu sekitar 51 km2/hari, rentang waktu tahun
2000-2005 sekitar 1,8 juta Ha/tahun sehingga bisa disimpulkan kehancuran
hutan kita itu no 2 di dunia berdasarkan luas dan no 1 di dunia
berdasarkan prosentase.
Dengan kondisi yang sudah dijelaskan di
atas, maka peran bambu begitu sangat penting karena sekitar 12% jenis
bambu dunia yaitu 160 spesies berada di Indonesia (Prof. Elizabeth,
2012). Bambu juga memiliki beberapa keunggulan yaitu : kecepatan
tumbuhnya 12”-36” per hari, lebih fleksibel dibanding kayu, dapat
dipergunakan dalam umur tumbuh 3-5 tahun, multiguna,bisa menghindari dan
menahan erosi, memperbaiki kandungan air tanah, renewable-sustainable,
budi daya yang mudah serta bisa menciptakan lapangan kerja yang banyak.
Di sisi lain, produksi biomassa bambu juga lebih baik dibanding kayu,
yaitu 7x lebih banyak dari pada pohon lainnya, bertambah 10-3-% per
tahun dibanding 2-5% pertahun untuk pohon lainnya, memproduksi antara
50-100 ton per Ha dan terbagi atas 60-70% batang, 10-15% ranting,,
15-20% daun-daunan. (Liese, 1985).
Dalam kaitannya dengan konservasi, sebuah
penelitian di China, hutan bambu mampu meningkatkan penyerapan air ke
dalam tanah hingga 240% dibandingkan hutan pinus. Penghijauan dengan
bambu pada bekas tambang batu bara di India mampu meningkatkan muka air
tanah 6,3 meter hanya dalam 4 tahun. Berdasarkan laporan penelitian
tentang hutan di China, dedaunan bambu yang berguguran di hutan bambu
terbuka paling efisien di dalam menjaga kelembaban tanah dan memiliki
indeks erosi paling rendah dibanding 14 jenis hutan yang lain.
Penelitian Prof. Koichi Ueda dari Kyoto University menyatakan bahwa
sistem perakaran bambu monopodial sangat efektif di dalam mencegah
bahaya tanah longsor. Hutan bambu dapat menyerap CO2 62 ton/Ha/Thn
sementara hutan tanaman lain yang masih baru hanya menyerap 15
ton/Ha/Thn. Bambu juga melepaskan oksigen sebagai hasil foto sintesis
355 lebih banyak dari pohon yang lain.
Pemanfaatan biomassa bambu ini sangat
beragam sekali, yaitu sebagai bahan bangunan hunian, jembatan, bambu
laminasi, parket, perancah, perabotan, peralatan dapur, kerajinan, alat
musik, kemasan, rebung, makananan ternak, obat, kertas, tekstil, bahan
bakar, pupuk, kompos dan pompa air. David Farelly – Book of Bamboo
menyebutkan 1000 manfaat bambu dari A (acupuncture needles, airplane
skins) sampai Z (zithers). Dalam hal konsumsi energi, perbandingan
energi yang diperlukan untuk memproduksi bahan bangunan (N/m2) adalah
beton 240, baja 1500, kayu 80 dan bambu 30. (J.A. Janssen, Bamboo
Research at the Eindhoven University of Technology). Di daerah tropis
dengan lahan 20×20 m2 kita dapat menanam bambu dalam 5 tahun untuk
membangun 2 rumah @8×8 m2, dengan kebun bambu 60 Ha, setiap tahun dapat
dibangun 1000 rumah dari bambu (costarica).
Potensi bambu di Indonesia sangat luar
biasa sekali karena dari 1200-1300 jenis bambu di dunia, 160 jenis
tumbuh di Indonesia (sekitar 12%). Kecuali Pulau Kalimantan, seluruh
pulau di Indonesia mempunyai sumber bambu yang berlimpah. Diperkirakan
terdapat 5 juta Ha hutan bambu di Indonesia (Kartodihardjo, 1999), di
Jawa Barat sendiri (E. Widjaja, 2005) terdiri dari 4650 Ha di
Tasikmalaya, 2950 Ha di Purwakarta dan 3400 Ha di Sukabumi.
Jadi, mengatasi kekeringan dan kekurangan
air bersih itu harus menyeluruh dan tuntas. Dari hulu sampai hilir itu
dijaga dan dibenahi. Selain itu pola pikir kita juga harus dirubah. Dulu
kita berangapan bahwa air hujan itu harus cepat-cepat dialirkan ke
laut. Nah sekarang dibalik, justru air hujan itu selama mungkin harus
ditahan di dalam tanah. Caranya bagaimana? Tata ruang dengan komposisi
30:50:20 harus diterapkan dalam perencanaan dan pembangunan kawasan baik
itu skala lingkungan maupun skala wilayah. Dalam skala lingkungan yang
sangat kecil, yaitu rumah kita, harus tersedia bak penampung, sumur
resapan atau biopori yang berfungsi untuk menyalurkan air hujan ke dalam
tanah dengan ukuran yang proporsional sesuai luas halaman rumahnya.
Sebagai penahan airnya, pohon bambulah yang paling efektif ditanam. Jika
menggunakan AC, maka air buangannya itu harus ditampung karena air
tersebut merupakan air bersih yang bisa dipergunakan kembali untuk
kebutuhan hidup. Air limbah dari kamar mandi, wastafel dan tempat cuci
pun sebaiknya jangan langsung dibuang ke got. Bila disalurkan ke tempat
yang sudah ada pengolahannya maka air limbah pun bisa dipergunakan
kembali.
Dalam skala lingkungan yang lebih besar
lagi yaitu perumahan dan kota, model tata kelola air ini bisa diterapkan
kembali. Harus ada hutan kecil atau hutan kota, kolam penampung dan
sumur resapan. Jika kita menerapkan model seperti itu maka tidak
diperlukan lagi pembangunan drainase yang selalu menjadi masalah baru
dikarenakan kita tidak pernah merawatnya.
Itu model yang bisa diterapkan di bagian
hilir yang sebagian besar merupakan rekayasa manusia. Sedangkan di
bagian hulu dengan eksisting kearifan lokal yang masih dimiliki oleh
Banten, sebenarnya penanganannya lebih mudah karena kewajiban kita hanya
menjaga dan merawat. Wilayah-wilayah yang telah mengalami degradasi
lingkungan dikonservasi ulang dengan tanaman bambu. Setelah itu baru
dikombinasikan dengan pohon-pohon keras yang usia tumbuhnya itu butuh
puluhan tahun.
Bambu memang bukan segalanya, tapi dengan
bambu waktu yang dibutuhkan untuk konservasi lingkungan akan lebih
cepat dibanding kayu.
Ke depan, Banten dengan segala potensi
kearifan lokalnya disertai dengan implementasi model tata kelola air
yang benar akan mampu mengatasi bencana kekeringan dan kekurangan air
bersih.
Sumber : http://bamboeindonesia.wordpress.com/bambu-atasi-kekeringan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar