ilustrasi gambar bambu
Kekeringan di musim kemarau
sering melanda daerah pedesaan yang menyebabkan warga mengantre air
bersih berjam-jam, lahan pertanian rusak, tanaman padi yang puso,
pemanfaatan air sungai yang kotor untuk keperluan sehari-hari, hingga
merebaknya beragam penyakit tanaman akibat musim kering. Namun,
hal ini tidak terjadi pada warga Desa Sumbermujur, Kecamatan
Candipuro, Kabupaten Lumajang (sejauh 40 kilometer dari pusat kota
Lumajang). Kini, mereka tidak lagi menderita kekurangan air, baik musim
kemarau maupun hujan.karena hutan bambu buatan masyarakat yang terjaga
dengan peraturan dan sanksinya. Berikut ini kita simak proses
pembuatannya sampai menjadi obyek wisata.
Saat di beberapa tempat, waduk
dan sumur mulai mengering, gemercik air di sawah-sawah di Sumbermujur
tidak pernah berhenti. Dari sawah terdekat dengan Gunung Semeru (8
kilometer dari Gunung Semeru), hingga ke sawah-sawah di kampung lainnya
(berjarak lebih dari 50 kilometer dari Gunung Semeru) selalu terima
suplai air.
Hal itu terjadi karena mata air
Sumber Delling tidak pernah berhenti mengalirkan air bersih baik untuk
minum maupun irigasi. Mata air yang berasal dari Gunung Semeru itu saat
kemarau seperti ini masih bisa mengeluarkan air bersih 600-800 liter air
per detik. Pada musim hujan, debitnya mencapai 1.000 liter air per
detik. Mata air tersebut berada di tengah hutan bambu seluas 14 hektar.
”Ini semua hasil kerja keras kami
selama ini. Tahun 1970-an, mata air di sini debitnya hanya 300 liter
per detik. Kini air melimpah dan semoga saja tak pernah mengecil lagi,”
kata Hery Gunawan, tokoh masyarakat di sana
Tahun 1970-an situasi ekonomi
Indonesia tidak bagus. Masyarakat umumnya makan bulgur, dan mata
pencaharian warga Desa Sumbermujur umumnya sebagai pembuat gedek atau
dinding dari anyaman bambu. Tak heran jika kemudian hutan bambu setempat
nyaris dibabat habis untuk kebutuhan harian warga setempat.
Menilik lokasi hutan bambu yang
dikitari empat dusun, tidak heran laju pembabatan bambu sangat cepat.
Kala itu dalam satu rumpun hanya tersisa 20 batang bambu, padahal sebelumnya terdapat puluhan rumpun yang terdiri dari puluhan batang bambu juga.
Di sisi utara hutan bambu adalah
Dusun Umbulrejo, sisi selatan adalah Dusun Umbulsari, sebelah timur
adalah Dusun Krajan, dan bagian barat merupakan Dusun Wonorenggo. Empat
dusun itu berada di Desa Sumbermujur.
Saat kritis
Dampak pembabatan bambu demi
alasan ekonomi langsung terasa. Debit air Sumber Delling mengecil.
Bahkan setiap malam masyarakat setempat dengan penerangan obor harus
pergi ke sumber untuk antre air bersih, karena pada siang hari air yang
ditampung belum cukup untuk memenuhi kebutuhan malam itu hingga esok
harinya.
”Saat itu air digilir untuk
setiap dusun. Mungkin dalam seminggu hanya tiga kali air mengalir ke
satu dusun. Ini jelas menyusahkan kami sebagai petani. Kalau ingin
panen, tiap malam kami harus berebut mendapatkan air. Tidak jarang juga
terjadi carok (perkelahian) gara-gara rebutan air,” kenang Kusman (55),
petani asal Desa Sumbermujur.
Melihat kondisi itu, nurani warga
mulai terketuk. Meski punya sawah, tapi kalau sulit air, maka hasil
pertanian tidak akan maksimal. Itu sebabnya, tahun 1975-1976 warga mulai
menanami hutan tersebut dengan bambu.
Bersama Kelompok Pelestari Sumber
Daya Alam (KPSA) Kali Jambe, selaku inisiator pelestari hutan bambu,
masyarakat pun aktif mendukung pelestarian hutan bambu.
Bukan itu saja. Warga
bahu-membahu membuat plengsengan pelindung mata air, menata hutan bambu
tersebut agar nyaman dikunjungi orang, dan rutin menjaga hutan tersebut
agar tidak dirusak orang. Semuanya swadaya masyarakat. Diakui, saat itu
belum ada dukungan dari pemerintah daerah.
”Tanaman bambu jadi pilihan kami
karena jenis ini dinilai paling sedikit risikonya dibanding menanam
tanaman keras,” tutur Hery Gunawan, Ketua KPSA Kali Jambe Sumbermujur.
Risiko di sini maksudnya, jika
terjadi pembabatan hutan seperti tahun 1990-an, tanaman bambu akan
tumbuh kembali dengan cepat dalam lima tahun. Sementara tanaman keras
seperti beringin butuh waktu puluhan tahun untuk bisa tumbuh besar
kembali.
Artinya, kalaupun hutan bambu
dibabat habis oleh massa, maka dalam waktu lima tahun saja warga akan
kesulitan air bersih. Lain halnya jika sumber air di sana dilindungi
tanaman keras. Bisa puluhan tahun warga terkena dampak kekurangan air
bersih.Lambat laun, dari semula hanya bambu Apus saja yang jadi tanaman asli di hutan bambu tersebut, kini setidaknya sudah ada 21 jenis bambu tumbuh subur di hutan tersebut. Seperti bambu jenis ampel hijau, ampel kuning, hingga bambu Thailand.
Suasana sejuk
Puluhan rumpun bambu yang
menjulang tinggi dan rimbun menghadirkan nuansa sejuk. Kesejukan itu
semakin lengkap saat terdengar gemercik air saat kita mulai berjalan ke
tengah hutan.
Bahkan saking sejuknya, hutan bambu ini juga jadi rumah bagi puluhan kera dan kelompok kelelawar. Kera-kera ini sesekali turun menyapa pengunjung.
Seiring dengan kembali rimbunnya
hutan bambu, maka debit air Sumber Delling pun kembali meningkat. Kini
air dari Sumber Delling mengaliri 426 hektar sawah di Sumbermujur, dan
sawah-sawah di tiga desa lain, yaitu Desa Penanggal, Desa Tambakrejo,
dan Desa Kloposawit. Total ada 891 hektar sawah yang memanfaatkan air
dari Sumber Delling.
Jumlah itu masih ditambah dengan
561 hektar sawah di Desa Pandanwangi, Kecamatan Tempeh Lumajang
(berjarak 50 kilometer dari Desa Sumbermujur) yang juga mengambil air
dari sumber ini. ”Mereka mengambil air dari sumber kami dengan
mobil-mobil tangki setiap hari selama 24 jam,” kata Hery.
Untuk kebutuhan air minum, ribuan
keluarga dari desa-desa di lereng timur Semeru bergantung pada hidup
dari mata air Sumber Delling setiap harinya.
Melihat eratnya hubungan antara
hutan bambu dan sumber air, warga Desa Sumbermujur pun berusaha
melindungi kawasan tersebut dengan membuat Peraturan Desa Nomor 6
Tahun 2007. Peraturan itu berisi kawasan Sumbermujur tak boleh
”disentuh”, baik flora maupun faunanya. Jika melanggar, pelaku akan
dikenai sanksi sesuai hukum lingkungan, yaitu hukuman badan atau denda Rp 500 juta.
Untuk membuat warga desa merasa
memiliki hutan bambu, kini kawasan tersebut diarahkan menjadi hutan
wisata. Masyarakat setempat mendapat penghasilan dari retribusi masuk ke
hutan bambu dan berjualan makanan kecil di sana. Pendatang pun senang
karena bisa menikmati keasrian hutan bambu serta berenang di kolam alami dengan air langsung dari sumber.
”Kalau begini, warga sekitar akan
merasa memiliki dan turut menjaga hutan bambu. Semoga dengan upaya ini,
mata air kami akan tetap lestari,” ujar Herry.
Belajar dari pengalaman pahit,
warga Sumbermujur pun mau berubah. Dari semula menjadi perambah, kini
jadi penjaga hutan bambu. Manfaatnya nyata! Saat warga lain tersiksa
kekeringan, warga Sumbermujur berlimpah air bersih. Semoga upaya
pelestarian alam ini menginspirasi warga lain di daerah lainnya.Diolah
dari :nasional.kompas.com
Sumber : http://kotakitaku-tamanbambunusantara.blogspot.com/2012/05/hutan-bambu-mampu-menjaga-sumber-air-di.html